Sabtu, 03 Mei 2014

Makalah Pemikiran Filsafat Socrates dan Plato serta Konstribusinya terhadap Pendidikan

PEMIKIRAN FILSAFAT SOCRATES DAN PLATO
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.A



Disusun Oleh:
Al Fauzal Akbar (11211101010)
Ayu Prasiska (11211201587)

Jurusan Pendidikan Agama Islam/SLTP-A IV Model
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru
2014 M

KATA PENGANTAR
            Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kami ucapkan, atas limpahan rahmat dan karunia serta nikmat-Nya, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan penulisan makalah  ini yang berjudul “Pemikiran Filsafat Socrates dan Plato”.
            Penulisan makalah ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
            Dalam penyelesaian makalah ini, Pemakalah banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari dosen pengampu yaitu bapak  Prof. Dr. H. Samsul Nizar, MA. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus ikhlas Pemakalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak dosen pengampu. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada Pemakalah dengan sebaik-baiknya balasan. Amin ya Robbal Alamin.
Akhirnya Pemakalah menyadari akan keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa Pemakalah harapkan dari berbagai pihak demi peningkatan kualitas penulisan makalah ini.
                      
                            Pekanbaru, Mei 2014


                                         Pemakalah






PENDAHULUAN
            Suatu pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan teoritis tidak pernah melayang-layang di udara. Setiap pemikiran teoritis mempunyai hubungan erat dengan lingkungan dimana pemikiran itu dijalankan. Itu benar juga bagi permulaan pemikiran teoritis, yaitu lahirnya filsafat di Yunani dalam abad ke-6 sebelum masehi. Supaya jangan ada salah paham, dengan segera harus ditambah disini bahwa bagi seorang Yunani filsafat tidak merupakan suatu ilmu disamping ilmu-ilmu lain, melainkan meliputi segala pengetahuan ilmiah.
            Tanah Yunani adalah tempat persemaian dimana pemikiran ilmiah mulai bertumbuh. Kiranya sudah jelas bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan di Yunani tidak dapat dimengerti dengan hanya mengetahui sedikit kebudayaan Yunani, tapi lebih dari itu kita dapat mengetahui filsafat Yunani dari pemikiran tokoh-tokohnya yang terkemuka seperti Socrates, Plato serta Aristoteles.
            Banyak pemikiran-pemikiran dari para filsuf Yunani yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran terutama dalam pendidikan. Terlebih kita yang insyaallah akan menjadi seorang pendidik nantinya tentu harus memahami betul tentang nilai-nilai filosofis dari pendidikan itu sendiri.
            Di dalam makalah ini, pemakalah menyajikan materi tentang biografi dan pemikiran dua tokoh besar dan terkemuka di Yunani yang tentunya tidak asing lagi terdengar di telinga kita yaitu Socrates dan Plato. Mudah-mudahan kita dapat mengambil pelajaran yang berharga dari pemikiran-pemikiran mereka.






PEMBAHASAN
PEMIKIRAN FILSAFAT SOCRATES DAN PLATO
A.    Socrates
1.      Biografi Socrates
Socrates merupakan seorang filsuf piawai dari Athena yang hidup pada masa filsafat, yang hanya dipakai sebagai silat lidah oleh kaum Sofis. Dan ia termasuk salah seorang penyebar benih filsafat analitik yang paling handal pada zamannya.[1] Socrates dilahirkan pada tahun 470 SM, berada di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Ia adalah anak seorang pemahat Sophroniscos dan ibunya bernama Phairnarete yang pekerjaannya seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang dikenal sebagai seorang yang judes (galak dan keras). Ia berasal dari keluarga yang kaya dengan mendapatkan pendidikan yang baik, kemudian menjadi prajurit Athena.[2] Socrates berwajah buruk tapi memiliki tubuh yang kuat. Ia terkenal sebagai prajurit yang gagah berani. Karena ia tidak suka dengan urusan politik, maka ia lebih senang mempusatkan perhatiannya kepada filsafat, dan akhirnya ia jatuh miskin.Pada tahun 399 SM Socrates di tuduh dengan dua tuduhan yaitu merusak pemuda dan menolak tuhan-tuhan negara, kemudian ia ditangkap dan akhirnya dihukum mati dengan minum racun pada usia 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM.[3]
2.      Pemikiran Socrates
Perbedaan antara kaum Sofis dengan Socrates adalah bahwa pemikiran filsafat Socrates sebagai suatu reaksi dan kritik terhadap pemikiran kaum Sofis. Socrates mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai obyek pemikiran filsafatnya.[4] Socrates tidak memungut bayaran kepada murid-muridnya, sehingga ia dituduh oleh kaum Sofis memberikan ajaran baru, merusak moral para pemuda, dan menentang kepercayaan negara. Pembelaan Socrates atas tuduhan tersebut telah ditulis oleh Plato dala “Apologia”. Plato memberikan pembelaan Socrates di pengadilan dengan mengatakan bahwa Socrates adalah seorang yang paling baik, paling bujaksana, paling jujur, dan merupakan manusia paling adil dari seluruh zamannya.
Dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya dan untuk menghadapi kaum Sofis, Socrates menggunakan metode dialektik-kritis. dialektik mengandung arti  “dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide”.Sedangkan sikap kritis berarti Socrates tidak mau menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu, Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut. Misalnya ia bertanya kepada seorang seniman tentang apa yang dimaksud dengan “keindahan”. Jadi, Socrates selalu menuntut kemampuan para ahli untuk mempertanggngjawabkan pengetahuannya dengan alasan yang benar. Apabila diperoleh jawaban di dukung dengan alasan yang benar maka ide yang telah teruji tadi akan diterimanya sebagai pengetahuan yang benar untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui cara perbandingan (komparasi), tapi jika tidak sanggup mengajukan alasan yang benar maka ide tersebut akan ditolaknya karena dianggap tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya.[5]Ia membangun pengetahuan dengan cara mengamati hal-hal yang konkret dan beragam. Dan ia menggunakan Unsur-unsur yang sama dan bersifat umum (tidak adanya perbedaan), inilah merupakan pengetahuan sejati, yang sangat penting untuk mencapai keutamaan moral. Maksudnya orang yang mempunyai pengetauan sejati berarti memiliki kebajikan (arete) atau keutamaan moral dan berarti memiliki kesempurnaan manusia sebagai manusia. Socrates menyelidiki manusia secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah.[6]
Menurut Plato negara mempunyai tugas untuk mewujudkan kebahagiaan warga negaranya, membuat jiwa mereka sebaik mungkin. Oleh karena itu penguasa harus tahu “apa yang baik”. Di dalam pemerintahan yang penting bukan demokrasi atau suara rakyat, tetapi keahlian yang khusus yaitu pengenalan tentang “yang baik”.[7]
Dari tulisan murid-muridnya, terutama Plato, ajaran Socrates dapat dirangkumkan sebagai berikut:
Jiwa manusia bukan hanya nafasnya saja, tetapi asas hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa adalah inti sari manusia, hakikat manusia sebagai pribadi yang bertanggungjawab. Karena jiwa adalah inti sari manusia, maka manusia harus mengutamakan kebahagiaan jiwanya atau eudaimonia yang berarti memiliki daimon atau jiwa yang baik, dari pada kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan lahiriah seperti: kaya, sehat, dan lain-lain.[8] Menurut Socrates, baik atau jahat berhubungan dengan pengetahuan yang di miliki manusia dan tidak ditentukan oleh kemauan hatinya. Seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang hidup yang baik maka akan hidup sesuai dengan pengetahuannya itu, tapi jika seseorang hidup tidak baik, itu bukan karena kehendak dirinya tetapi karena orang itu tidak mempunyai pengetahuan tentang hidup yang baik. Pendapatnya tentang hal ini disebut dengan “keutamaan adalah pengetahuan”.
B.     Plato
1.      Boigrafi Plato
Plato lahir sekitar tahun 427 SM dalam sebuah keluarga bangsawan Athena yang kaya raya, hidup ketika Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Ia adalah salah satu muri Socrates.[9]Ketika Plato berusia sekitar lima tahunan, orang Athena merebut Skione yaitu sebuah kota di Chalkidike yang sudah dirusak oleh pihak Sparta. Athena membunuh semua penduduk laki-laki di Skione dan menjual semua wanita dan anak-anaknya untuk dijadikan budak.
Ketika Plato muda, kaum Sofis merupakan tokoh yang sangat dikenal sebagai ahli profesional dalam seni berargumen yang memamerkan keahliannya kepada publik, ia juga ahli teori tentang hakikat nilai atau dasar masyarakat manusia, yang menawarkan kepada audiensi yang kritis pertunjukkan tentang pidato resmi, gaya perkuliahannya, daya analisis dan kemampuan spekulatifnya. Selama masa remaja, Plato telah mengikuti pamannya Charmides dan Critias, serta saudaranya Adeimantus dan Glaucon untuk bergabung dengan Socrates. Kini dia berhenti bersama para anggota lain dari lingkaran Socrates untuk tinggal di Megara bersama Euclides, seorang filsuf Elea yang menyaksikan kematian Socrates. Socrates merupakan sesuatu yang berharga bagi lembaga umum di Athena selama masa muda Plato.
Sophocles dan Euripides adalah orang tua Plato, keduanya meninggal pada saat Plato berusia 21 tahun. Ketika Plato berusia 23 tahun yaitu pada musim semi tahun 404 SM, kota dipaksa menyerah. Penangkapan atas armada dengan ribuan tentaranya, yang paling parah penyakit dan kelaparan di musim dingin serta kepungan yang rapat membuat kota bertukuk lutut (tak berdaya). Plato adalah pemuda yang cerdas diusianya yang 23 tahun dengan antusiasme yang bersungguh-sungguh untuk mengadakan reformasi politik. Dia telah belajar dari Socrates untuk memandang hina sistem “demokrasi” dengan pimpinan tertinggi yang dipilih berdasarkan undian dan yang menunjukkan dirinya pada tahap terakhir perang yang meresahkan dan rentan terhadap suara yang menghasut dari para penghasut yang tidak bertanggung jawab.[10]
Plato kemudian dikenal sebagai filsuf dengan pikirannya sendiri. Berbagai karya Plato merupakan bukti yang memadai bahwa ia telah memperoleh pendidikan yang baik, terlepas dari pengembangan minatnya terhadap politik dan persoalan sosial, yang telah membuka pikirannya keseluruh cakrawala kehidupan intelektual zamannya.
Pada usia 40 tahun Plato mengunjungi Italia dan Sicilia untuk belajar ajaran Pythagoras, kemudia sekembalinya ia mendirikan Akademi yaitu perguruan tinggi tempat para sarjana, guru, dan mahasiswa bekerja sama, mengabdikan diri untuk mempelajari filsafat dan ilmu.Waktunya dihabiskan untuk belajar dan mengajar di Akademi serta menghasilkan karya-karya. Dan Plato wafat pada usia 80 tahun.[11]




2.      Pemikiran Plato
Inti pemikiran filsafat Plato adalah menyelesaikan perbedaan pendapat tentang mana yang benar antara yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides), mana yang benar antara pengetahuan inderawi (pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap/berubah) atau pengetahuan yang lewat akal ( pengetahuan akal bersifat tetap/tidak berubah). Plato mengemukakan bahwa ajaran dan pemikiran Heracleitos itu benar tetapi hanya berlaku pada dunia pengalaman, sebaliknya pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya pada dunia ide yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.[12]
Plato telah maju selangkah dalam pemikirannya dibandingkan dengan gurunya Socrates. Socrates baru sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang umum dan merupakan hakikat suatu realitas, tetapi Plato telah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa hakikat suatu realitas itu bukan “yang umum” melainkan yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang berada secara kongkret  yaitu “ide”. Pendapat Plato, manusia sesungguhnya berada pada dua dunia yaitu pertama, dunia pengalamn yang bersifat tidak tetap, bermacam-macam, dan berubah-ubah, dan kedua, ide yang bersifat tetap, hanya satu macam, dan tidak berubah. Bagi Plato dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide, sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya yaitu dunia realitas, dan dunia inilah yang menjadi “model” dunia pengalaman.[13]
pemikirannya tentang Tuhan, Plato mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang tidak pantas apabila tidak mengetahuinya, yaitu:
a.       Manusia itu mempunyai Tuhan sebagai penciptanya
b.      Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia
c.       Tuhan hanya dapat diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak, dan lain-lain
d.      Tuhanlah yang menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato adalah pemikirannya tentang negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi. Pemikirannya tentang negara ini sebagai upaya Plato untuk memperbaiki keadaan negara yang dirasakan buruk. Drs. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 50[14]
Menurut Plato, pendidikan anak-anak dari umur 10 tahun keatas menjadi urusan negara, supaya mereka terlepas dari pengaruh orang tuanya. Dasar yang terutama bagi pendidikan anak-anak adalah gymnastic (senam) dan musik, sehingga menghasilkan manusia yang berani yang diperlukan bagi calon penjaga, setelah itu diberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung seperlunya saja. Dari usia 14-16 tahun anak-anak diajarkan musik dan puisi serta mengarang bersajak, tujuannya untuk menanamkan dalam jiwa manusia perasaan yang halus dan budi yang halus. Usia 16-18 tahun anak diberi pelajaran matematika untuk mendidik jalan pikirannya, dan diajarkannya pula dasar-dasar agama dan adab sopan supaya dikalangan mereka tertanam rasa persatuan. Plato mengatakan bahwa suatu bangsa tidak akan kuat, kalau ia tidak percaya pada Tuhan. Usia 18-20 tahun pemuda mendapat didikan militer. [15]
           
`                       Beberapa pemikiran Plato yang penting dalam dunia pendidikan,     antara lain:
1.   Pendidikan sebagai proses maupun hasil. Sebagai proses, pendidikan memiliki tugas dan fungsi menyiapkan warga untuk kemampuannya hidup di masyarakat. Fungsi ini didelegasikan pada sekolah karena diasumsikan bahwa manusia dibagi kedalam tiga kelas yang yang berbeda. Jadi kebutuhan dibedakan oleh masing-masing individu bertanggungjawab dan fungsi sekolah diletakkan pada tempat yang proporsional. Selanjutnya sebagai hasil, sekolah memiliki fungsi “turning out” yakni menghasilkan individu yang mampu berkontemplasi dengan alam ide yang abstrak, raja philosof, yang menjadikan sesuatu itu sesuai dengan seluruh keuntungan pengetahuan yang benar dari kebaikan yang absolute. Pendangan ini terkesan klasik, Plato justru terkenal dan meletakkan pandangan baru bagi para ahli bahwa filsafat diperuntukkan juga untuk memberi perlakuan pada masalah pendidikan.
2.   Belajar adalah proses menemukan dimana pelajar dirangsang untuk mengemukakan kembali kebenaran yang telah dipresentasikan melalui pikirannya.  Hal ini didasari pada kenyataan bahwa full day school tak sekedar memaksa siswa belajar dari pagi sampai sore, tapi tentu materinya lebih banyak, lebih variatif, dan kemungkinan lebih mendalam. Tak hanya itu, yang pasti full day school tentu lebih mahal biayanya daripada sekolah biasa. Hal yang dikuatirkan adalah siswa menjadi jenuh belajar seharian. Tak hanya dibatasi dalam lingkup sekolah yang sering kali menjauhkan dari realita kehidupan, tetapi ketika materi yang diberikan terlalu banyak, apalagi dengan konsep yang tak menarik hati, maka sisiwa akan kian jenuh. Padahal kejenuhan dalam belajar adalah awal resistensi pada materi yang diberikan. Perlu disadari kiranya bahwa siswa-siswa tak semuanya tahan dalam “penjara” sekolah, karena ada yang berkarakter pemberontak, tak semua siswa mampu menyerap banyak materi, karena berbedanya kecerdasan, tak semua siswa mau mempelajari semua, karena bervariasinya potensi dan bakat sebagaimana dikemukakan oleh Howard Gardner dalam konsep multiple intelligence-nya. Ini adalah sebentuk eksploitasi siswa oleh lembaga pendidikan bersangkutan. Padahal siswa mempunyai hak untuk mengaktualisasi- kan diri, berekspresi, termasuk bermain-main terutama pada usia anak-anak. Dengan konsep sekolah sehari penuh, anak juga menjadi korban idealism visi pendidikan dan juga arogansi orang tua yang “memaksa” anaknya jadi yang terbaik. Bukankah ketika ingin memberi yang terbaik tak perlu dengan memaksa, tapi dengan menyesuaikan potensi, bakat, dan kemampuan? Begitu pula dengan sekolah, tak perlu “memaksa” siswa belajar seharian, yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya agar siswa menjadi senang belajar, hingga saat yang paling dibencinya justru ketika waktu belajar usaidan liburan tiba.
3.   Tujuan pendidikan. Pendidikan yang menitikberatkan pada idealisme akan merumuskan tujuan pendidikan sebagai pencapaian manusia yang berkepriibadian mulia dan memiliki taraf hidup kerohanian yang tinggi dan ideal.
4.   Guru hendaknya menjadi contoh moral dan budaya terhadap nilai-nilai yang mewakili ekspresi individu yang tertinggi dan terbaik serta pengembangan kemanusiaan.
5.   Peserta didik. Peserta didik dipandang sebagai suatu diri mikrokosmik (jagad kecil) yang berada dalam proses menjadi (becoming) yang lebih mirip dengan diri absolut. Oleh karenanya peserta didik akan berjuang serius demi mencapai kesempurnaan karena person ideal adalah sesuatu yang sempurna.[16]








PENUTUP
Kesimpulan
            Socrates dilahirkan pada tahun 470 SM, berada di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Ia adalah anak seorang pemahat Sophroniscos dan ibunya bernama Phairnarete yang pekerjaannya seorang bidan. Socrates berwajah buruk tapi memiliki tubuh yang kuat. Socrates meninggal pada tahun 399 SM karena dihukum mati. Usia beliau sewaktu meninggal dunia lebih kurang 70 tahun.
            pemikiran filsafat Socrates sebagai suatu reaksi dan kritik terhadap pemikiran kaum Sofis. Socrates mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai obyek pemikiran filsafatnya. Dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya dan untuk menghadapi kaum Sofis, Socrates menggunakan metode dialektik-kritis. dialektik mengandung arti  “dialog antara dua pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan (interplay) antar ide”.Sedangkan sikap kritis berarti Socrates tidak mau menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu, Socrates selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam bidang tersebut.
            Plato lahir sekitar tahun 427 SM dalam sebuah keluarga bangsawan Athena yang kaya raya, hidup ketika Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Ia adalah salah satu muri Socrates. Sophocles dan Euripides adalah orang tua Plato, keduanya meninggal pada saat Plato berusia 21 tahun.
            Inti pemikiran filsafat Plato adalah menyelesaikan perbedaan pendapat tentang mana yang benar antara yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides), mana yang benar antara pengetahuan inderawi (pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap/berubah) atau pengetahuan yang lewat akal ( pengetahuan akal bersifat tetap/tidak berubah).

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003
Brouwer, M.A.W, dan Heryadi, M. Puspa. Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, Bandung: PT. Alumni, 1986
Choiri, Miftahul. Telaah Pemikiran Plato dan Kontribusinya dalam Pendidikan, Ponorogo: Al-Tahrir, 2008
Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematika dan Analitika, Pekanbaru: Suska Press, 2008
Melling, David. Jejak Langkah Pemikiran Plato, Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002
Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Paulus, Welteroberer. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010



[1]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 18
[2]Welteroberer Paulus, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 35
[3]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 53


[4]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 22
[5]Rizal Mustansyir, Op. Cit., hlm. 19
[6]Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematika dan Analitika, (Pekanbaru: Suska Press, 2008) hlm. 38
[7]Welteroberer Paulus, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 37
[8]M.A.W. Brouwer, dan M. Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung: PT. Alumni, 1986), hlm. 25
[9]H. Ahmad Syadili, Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 69
[10]David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 1
[11]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 48
[12]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 49
[13]Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematika dan Analitika, (Pekanbaru: Suska Press, 2008) hlm. 39

[14]Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematika dan Analitika, (Pekanbaru: Suska Press, 2008) hlm. 39
[15]Ahmad Syadili, Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 71

[16] Miftahul Choiri, Telaah Pemikiran Plato dan Kontribusinya dalam Pendidikan, (Ponorogo: Al-Tahrir, 2008), hlm. 231-233


1 komentar: