PEMIKIRAN
FILSAFAT SOCRATES DAN PLATO
Diajukan untuk memenuhi tugas
terstruktur
mata
kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.A

Disusun Oleh:
Al Fauzal Akbar (11211101010)
Ayu Prasiska (11211201587)
Jurusan Pendidikan Agama
Islam/SLTP-A IV Model
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Pekanbaru
2014 M
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kami ucapkan, atas limpahan
rahmat dan karunia serta nikmat-Nya, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan
penulisan makalah ini yang berjudul
“Pemikiran Filsafat Socrates dan Plato”.
Penulisan
makalah ini merupakan tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Dalam
penyelesaian makalah ini, Pemakalah banyak mendapat bimbingan dan pengarahan
dari dosen pengampu yaitu bapak Prof.
Dr. H. Samsul Nizar, MA. Oleh karena
itu, dengan hati yang tulus ikhlas Pemakalah menyampaikan ucapan terima kasih
kepada bapak dosen pengampu. Semoga
Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada Pemakalah dengan
sebaik-baiknya balasan. Amin ya Robbal Alamin.
Akhirnya
Pemakalah menyadari akan keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Untuk itu,
kritik dan saran yang membangun senantiasa Pemakalah harapkan dari berbagai
pihak demi peningkatan kualitas penulisan makalah ini.
Pekanbaru, Mei 2014
Pemakalah
PENDAHULUAN
Suatu
pandangan dunia dan umumnya suatu pandangan teoritis tidak pernah
melayang-layang di udara. Setiap pemikiran teoritis mempunyai hubungan erat
dengan lingkungan dimana pemikiran itu dijalankan. Itu benar juga bagi permulaan
pemikiran teoritis, yaitu lahirnya filsafat di Yunani dalam abad ke-6 sebelum
masehi. Supaya jangan ada salah paham, dengan segera harus ditambah disini
bahwa bagi seorang Yunani filsafat tidak merupakan suatu ilmu disamping
ilmu-ilmu lain, melainkan meliputi segala pengetahuan ilmiah.
Tanah Yunani adalah tempat
persemaian dimana pemikiran ilmiah mulai bertumbuh. Kiranya sudah jelas bahwa
filsafat dan ilmu pengetahuan di Yunani tidak dapat dimengerti dengan hanya
mengetahui sedikit kebudayaan Yunani, tapi lebih dari itu kita dapat mengetahui
filsafat Yunani dari pemikiran tokoh-tokohnya yang terkemuka seperti Socrates,
Plato serta Aristoteles.
Banyak pemikiran-pemikiran dari para
filsuf Yunani yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran terutama dalam
pendidikan. Terlebih kita yang insyaallah
akan menjadi seorang pendidik nantinya tentu harus memahami betul tentang
nilai-nilai filosofis dari pendidikan itu sendiri.
Di dalam makalah ini, pemakalah
menyajikan materi tentang biografi dan pemikiran dua tokoh besar dan terkemuka
di Yunani yang tentunya tidak asing lagi terdengar di telinga kita yaitu
Socrates dan Plato. Mudah-mudahan kita dapat mengambil pelajaran yang berharga
dari pemikiran-pemikiran mereka.
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN
FILSAFAT SOCRATES DAN PLATO
A. Socrates
1.
Biografi Socrates
Socrates merupakan seorang filsuf piawai dari Athena
yang hidup pada masa filsafat, yang hanya dipakai sebagai silat lidah oleh kaum
Sofis. Dan ia termasuk salah seorang penyebar benih filsafat analitik yang
paling handal pada zamannya.[1]
Socrates dilahirkan pada tahun 470 SM, berada di tengah-tengah keruntuhan
imperium Athena. Ia adalah anak seorang pemahat Sophroniscos dan ibunya bernama
Phairnarete yang pekerjaannya seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang dikenal
sebagai seorang yang judes (galak dan keras). Ia berasal dari keluarga yang
kaya dengan mendapatkan pendidikan yang baik, kemudian menjadi prajurit Athena.[2]
Socrates berwajah buruk tapi memiliki tubuh yang kuat. Ia terkenal sebagai
prajurit yang gagah berani. Karena ia tidak suka dengan urusan politik, maka ia
lebih senang mempusatkan perhatiannya kepada filsafat, dan akhirnya ia jatuh
miskin.Pada tahun 399 SM Socrates di tuduh dengan dua tuduhan yaitu merusak
pemuda dan menolak tuhan-tuhan negara, kemudian ia ditangkap dan akhirnya
dihukum mati dengan minum racun pada usia 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM.[3]
2.
Pemikiran Socrates
Perbedaan antara kaum Sofis dengan Socrates adalah
bahwa pemikiran filsafat Socrates sebagai suatu reaksi dan kritik terhadap pemikiran
kaum Sofis. Socrates mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai obyek
pemikiran filsafatnya.[4]
Socrates tidak memungut bayaran kepada murid-muridnya, sehingga ia dituduh oleh
kaum Sofis memberikan ajaran baru, merusak moral para pemuda, dan menentang
kepercayaan negara. Pembelaan Socrates atas tuduhan tersebut telah ditulis oleh
Plato dala “Apologia”. Plato memberikan pembelaan Socrates di pengadilan dengan
mengatakan bahwa Socrates adalah seorang yang paling baik, paling bujaksana,
paling jujur, dan merupakan manusia paling adil dari seluruh zamannya.
Dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya dan untuk
menghadapi kaum Sofis, Socrates menggunakan metode dialektik-kritis. dialektik
mengandung arti “dialog antara dua
pendirian yang bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan
memakai pertemuan (interplay) antar ide”.Sedangkan sikap kritis berarti
Socrates tidak mau menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan
pengujian untuk membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu, Socrates
selalu meminta penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang
dianggapnya ahli dalam bidang tersebut. Misalnya ia bertanya kepada seorang
seniman tentang apa yang dimaksud dengan “keindahan”. Jadi, Socrates selalu
menuntut kemampuan para ahli untuk mempertanggngjawabkan pengetahuannya dengan
alasan yang benar. Apabila diperoleh jawaban di dukung dengan alasan yang benar
maka ide yang telah teruji tadi akan diterimanya sebagai pengetahuan yang benar
untuk sementara sebelum dilakukan pengujian lebih lanjut melalui cara
perbandingan (komparasi), tapi jika tidak sanggup mengajukan alasan yang benar
maka ide tersebut akan ditolaknya karena dianggap tidak mencerminkan realitas
yang sesungguhnya.[5]Ia
membangun pengetahuan dengan cara mengamati hal-hal yang konkret dan beragam.
Dan ia menggunakan Unsur-unsur yang sama dan bersifat umum (tidak adanya
perbedaan), inilah merupakan pengetahuan sejati, yang sangat penting untuk
mencapai keutamaan moral. Maksudnya orang yang mempunyai pengetauan sejati berarti
memiliki kebajikan (arete) atau keutamaan moral dan berarti memiliki
kesempurnaan manusia sebagai manusia. Socrates menyelidiki manusia secara
keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai jasmaniah dan rohaniah.[6]
Menurut Plato negara mempunyai tugas untuk
mewujudkan kebahagiaan warga negaranya, membuat jiwa mereka sebaik mungkin.
Oleh karena itu penguasa harus tahu “apa yang baik”. Di dalam pemerintahan yang
penting bukan demokrasi atau suara rakyat, tetapi keahlian yang khusus yaitu
pengenalan tentang “yang baik”.[7]
Dari tulisan murid-muridnya, terutama Plato, ajaran
Socrates dapat dirangkumkan sebagai berikut:
Jiwa manusia bukan hanya nafasnya saja, tetapi asas
hidup manusia dalam arti yang lebih mendalam. Jiwa adalah inti sari manusia,
hakikat manusia sebagai pribadi yang bertanggungjawab. Karena jiwa adalah inti
sari manusia, maka manusia harus mengutamakan kebahagiaan jiwanya atau
eudaimonia yang berarti memiliki daimon atau jiwa yang baik, dari pada
kebahagiaan tubuhnya atau kebahagiaan lahiriah seperti: kaya, sehat, dan
lain-lain.[8]
Menurut Socrates, baik atau jahat berhubungan dengan pengetahuan yang di miliki
manusia dan tidak ditentukan oleh kemauan hatinya. Seseorang yang mempunyai
pengetahuan tentang hidup yang baik maka akan hidup sesuai dengan
pengetahuannya itu, tapi jika seseorang hidup tidak baik, itu bukan karena
kehendak dirinya tetapi karena orang itu tidak mempunyai pengetahuan tentang
hidup yang baik. Pendapatnya tentang hal ini disebut dengan “keutamaan adalah
pengetahuan”.
B. Plato
1.
Boigrafi Plato
Plato
lahir sekitar tahun 427 SM dalam sebuah keluarga bangsawan Athena yang kaya
raya, hidup ketika Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Ia
adalah salah satu muri Socrates.[9]Ketika
Plato berusia sekitar lima tahunan, orang Athena merebut Skione yaitu sebuah
kota di Chalkidike yang sudah dirusak oleh pihak Sparta. Athena membunuh semua
penduduk laki-laki di Skione dan menjual semua wanita dan anak-anaknya untuk
dijadikan budak.
Ketika
Plato muda, kaum Sofis merupakan tokoh yang sangat dikenal sebagai ahli
profesional dalam seni berargumen yang memamerkan keahliannya kepada publik, ia
juga ahli teori tentang hakikat nilai atau dasar masyarakat manusia, yang
menawarkan kepada audiensi yang kritis pertunjukkan tentang pidato resmi, gaya
perkuliahannya, daya analisis dan kemampuan spekulatifnya. Selama masa remaja,
Plato telah mengikuti pamannya Charmides dan Critias, serta saudaranya
Adeimantus dan Glaucon untuk bergabung dengan Socrates. Kini dia berhenti
bersama para anggota lain dari lingkaran Socrates untuk tinggal di Megara
bersama Euclides, seorang filsuf Elea yang menyaksikan kematian Socrates.
Socrates merupakan sesuatu yang berharga bagi lembaga umum di Athena selama
masa muda Plato.
Sophocles
dan Euripides adalah orang tua Plato, keduanya meninggal pada saat Plato
berusia 21 tahun. Ketika Plato berusia 23 tahun yaitu pada musim semi tahun 404
SM, kota dipaksa menyerah. Penangkapan atas armada dengan ribuan tentaranya,
yang paling parah penyakit dan kelaparan di musim dingin serta kepungan yang
rapat membuat kota bertukuk lutut (tak berdaya). Plato adalah pemuda yang
cerdas diusianya yang 23 tahun dengan antusiasme yang bersungguh-sungguh untuk
mengadakan reformasi politik. Dia telah belajar dari Socrates untuk memandang hina
sistem “demokrasi” dengan pimpinan tertinggi yang dipilih berdasarkan undian
dan yang menunjukkan dirinya pada tahap terakhir perang yang meresahkan dan
rentan terhadap suara yang menghasut dari para penghasut yang tidak bertanggung
jawab.[10]
Plato
kemudian dikenal sebagai filsuf dengan pikirannya sendiri. Berbagai karya Plato
merupakan bukti yang memadai bahwa ia telah memperoleh pendidikan yang baik,
terlepas dari pengembangan minatnya terhadap politik dan persoalan sosial, yang
telah membuka pikirannya keseluruh cakrawala kehidupan intelektual zamannya.
Pada
usia 40 tahun Plato mengunjungi Italia dan Sicilia untuk belajar ajaran
Pythagoras, kemudia sekembalinya ia mendirikan Akademi yaitu perguruan tinggi
tempat para sarjana, guru, dan mahasiswa bekerja sama, mengabdikan diri untuk
mempelajari filsafat dan ilmu.Waktunya dihabiskan untuk belajar dan mengajar di
Akademi serta menghasilkan karya-karya. Dan Plato wafat pada usia 80 tahun.[11]
2.
Pemikiran Plato
Inti
pemikiran filsafat Plato adalah menyelesaikan perbedaan pendapat tentang mana
yang benar antara yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides),
mana yang benar antara pengetahuan inderawi (pengetahuan pengalaman bersifat
tidak tetap/berubah) atau pengetahuan yang lewat akal ( pengetahuan akal
bersifat tetap/tidak berubah). Plato mengemukakan bahwa ajaran dan pemikiran
Heracleitos itu benar tetapi hanya berlaku pada dunia pengalaman, sebaliknya
pendapat Parmenides juga benar tetapi hanya pada dunia ide yang hanya dapat
dipikirkan oleh akal.[12]
Plato
telah maju selangkah dalam pemikirannya dibandingkan dengan gurunya Socrates.
Socrates baru sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang umum dan merupakan
hakikat suatu realitas, tetapi Plato telah mengembangkannya dengan pemikiran
bahwa hakikat suatu realitas itu bukan “yang umum” melainkan yang mempunyai
kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang berada secara kongkret yaitu “ide”. Pendapat Plato, manusia
sesungguhnya berada pada dua dunia yaitu pertama, dunia pengalamn yang
bersifat tidak tetap, bermacam-macam, dan berubah-ubah, dan kedua, ide
yang bersifat tetap, hanya satu macam, dan tidak berubah. Bagi Plato dunia
pengalaman merupakan bayang-bayang dari dunia ide, sedangkan dunia ide
merupakan dunia yang sesungguhnya yaitu dunia realitas, dan dunia inilah yang
menjadi “model” dunia pengalaman.[13]
pemikirannya
tentang Tuhan, Plato mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia
yang tidak pantas apabila tidak mengetahuinya, yaitu:
a.
Manusia itu mempunyai
Tuhan sebagai penciptanya
b.
Tuhan itu mengetahui
segala sesuatu yang diperbuat oleh manusia
c.
Tuhan hanya dapat
diketahui dengan cara negatif, tidak ada ayat, tidak ada anak, dan lain-lain
d.
Tuhanlah yang
menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan.
Sebagai puncak pemikiran filsafat Plato
adalah pemikirannya tentang negara, yang tertera dalam Polites dan Nomoi.
Pemikirannya tentang negara ini sebagai upaya Plato untuk memperbaiki keadaan
negara yang dirasakan buruk. Drs. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 50[14]
Menurut Plato, pendidikan anak-anak dari
umur 10 tahun keatas menjadi urusan negara, supaya mereka terlepas dari
pengaruh orang tuanya. Dasar yang terutama bagi pendidikan anak-anak adalah
gymnastic (senam) dan musik, sehingga menghasilkan manusia yang berani yang
diperlukan bagi calon penjaga, setelah itu diberikan pelajaran membaca, menulis
dan berhitung seperlunya saja. Dari usia 14-16 tahun anak-anak diajarkan musik
dan puisi serta mengarang bersajak, tujuannya untuk menanamkan dalam jiwa
manusia perasaan yang halus dan budi yang halus. Usia 16-18 tahun anak diberi
pelajaran matematika untuk mendidik jalan pikirannya, dan diajarkannya pula
dasar-dasar agama dan adab sopan supaya dikalangan mereka tertanam rasa persatuan.
Plato mengatakan bahwa suatu bangsa tidak akan kuat, kalau ia tidak percaya
pada Tuhan. Usia 18-20 tahun pemuda mendapat didikan militer. [15]
` Beberapa pemikiran Plato
yang penting dalam dunia pendidikan, antara
lain:
1.
Pendidikan sebagai
proses maupun hasil. Sebagai proses, pendidikan memiliki tugas dan fungsi
menyiapkan warga untuk kemampuannya hidup di masyarakat. Fungsi ini
didelegasikan pada sekolah karena diasumsikan bahwa manusia dibagi kedalam tiga
kelas yang yang berbeda. Jadi kebutuhan dibedakan oleh masing-masing individu
bertanggungjawab dan fungsi sekolah diletakkan pada tempat yang proporsional.
Selanjutnya sebagai hasil, sekolah memiliki fungsi “turning out” yakni menghasilkan individu yang mampu berkontemplasi
dengan alam ide yang abstrak, raja philosof, yang menjadikan sesuatu itu sesuai
dengan seluruh keuntungan pengetahuan yang benar dari kebaikan yang absolute.
Pendangan ini terkesan klasik, Plato justru terkenal dan meletakkan pandangan
baru bagi para ahli bahwa filsafat diperuntukkan juga untuk memberi perlakuan
pada masalah pendidikan.
2.
Belajar adalah proses
menemukan dimana pelajar dirangsang untuk mengemukakan kembali kebenaran yang
telah dipresentasikan melalui pikirannya.
Hal ini didasari pada kenyataan bahwa full day school tak sekedar memaksa siswa belajar dari pagi sampai
sore, tapi tentu materinya lebih banyak, lebih variatif, dan kemungkinan lebih
mendalam. Tak hanya itu, yang pasti full
day school tentu lebih mahal biayanya daripada sekolah biasa. Hal
yang dikuatirkan adalah siswa menjadi jenuh belajar seharian. Tak hanya
dibatasi dalam lingkup sekolah yang sering kali menjauhkan dari realita
kehidupan, tetapi ketika materi yang diberikan terlalu banyak, apalagi dengan
konsep yang tak menarik hati, maka sisiwa akan kian jenuh. Padahal kejenuhan
dalam belajar adalah awal resistensi pada materi yang diberikan. Perlu disadari kiranya bahwa siswa-siswa tak semuanya
tahan dalam “penjara” sekolah, karena ada yang berkarakter pemberontak, tak
semua siswa mampu menyerap banyak materi, karena berbedanya kecerdasan, tak
semua siswa mau mempelajari semua, karena bervariasinya potensi dan bakat
sebagaimana dikemukakan oleh Howard Gardner dalam konsep multiple intelligence-nya. Ini adalah sebentuk eksploitasi siswa
oleh lembaga pendidikan bersangkutan. Padahal siswa mempunyai hak untuk
mengaktualisasi- kan diri, berekspresi, termasuk bermain-main terutama pada
usia anak-anak. Dengan konsep sekolah sehari penuh, anak juga menjadi korban
idealism visi pendidikan dan juga arogansi orang tua yang “memaksa” anaknya
jadi yang terbaik. Bukankah ketika ingin memberi yang terbaik tak perlu dengan
memaksa, tapi dengan menyesuaikan potensi, bakat, dan kemampuan? Begitu pula
dengan sekolah, tak perlu “memaksa” siswa belajar seharian, yang perlu
dilakukan adalah bagaimana caranya agar siswa menjadi senang belajar, hingga
saat yang paling dibencinya justru ketika waktu belajar usaidan liburan tiba.
3.
Tujuan pendidikan.
Pendidikan yang menitikberatkan pada idealisme akan merumuskan tujuan
pendidikan sebagai pencapaian manusia yang berkepriibadian mulia dan memiliki
taraf hidup kerohanian yang tinggi dan ideal.
4.
Guru hendaknya menjadi
contoh moral dan budaya terhadap nilai-nilai yang mewakili ekspresi individu
yang tertinggi dan terbaik serta pengembangan kemanusiaan.
5.
Peserta didik. Peserta
didik dipandang sebagai suatu diri mikrokosmik (jagad kecil) yang berada dalam
proses menjadi (becoming) yang lebih
mirip dengan diri absolut. Oleh karenanya peserta didik akan berjuang
serius demi mencapai kesempurnaan karena person
ideal adalah sesuatu yang sempurna.[16]
PENUTUP
Kesimpulan
Socrates dilahirkan pada tahun 470
SM, berada di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Ia adalah anak seorang
pemahat Sophroniscos dan ibunya bernama Phairnarete yang pekerjaannya seorang
bidan. Socrates berwajah buruk tapi memiliki tubuh yang kuat. Socrates
meninggal pada tahun 399 SM karena dihukum mati. Usia beliau sewaktu meninggal
dunia lebih kurang 70 tahun.
pemikiran filsafat Socrates sebagai
suatu reaksi dan kritik terhadap pemikiran kaum Sofis. Socrates mengarahkan
perhatiannya kepada manusia sebagai obyek pemikiran filsafatnya. Dalam
mengajarkan ilmu kepada muridnya dan untuk menghadapi kaum Sofis, Socrates
menggunakan metode dialektik-kritis. dialektik mengandung arti “dialog antara dua pendirian yang
bertentangan ataupun merupakan perkembangan pemikiran dengan memakai pertemuan
(interplay) antar ide”.Sedangkan sikap kritis berarti Socrates tidak mau
menerima begitu saja sesuatu pengertian sebelum dilakukan pengujian untuk
membuktikan benar atau salahnya. Oleh karena itu, Socrates selalu meminta
penjelasan tentang sesuatu pengertian dari orang yang dianggapnya ahli dalam
bidang tersebut.
Plato lahir sekitar tahun 427 SM
dalam sebuah keluarga bangsawan Athena yang kaya raya, hidup ketika Yunani
menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Ia adalah salah satu muri
Socrates. Sophocles dan Euripides adalah orang tua Plato, keduanya meninggal
pada saat Plato berusia 21 tahun.
Inti pemikiran filsafat Plato adalah
menyelesaikan perbedaan pendapat tentang mana yang benar antara yang
berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides), mana yang benar antara
pengetahuan inderawi (pengetahuan pengalaman bersifat tidak tetap/berubah) atau
pengetahuan yang lewat akal ( pengetahuan akal bersifat tetap/tidak berubah).
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003
Brouwer, M.A.W, dan Heryadi, M. Puspa. Sejarah
Filsafat Barat Modern dan Sezaman, Bandung: PT. Alumni, 1986
Choiri, Miftahul. Telaah Pemikiran Plato dan Kontribusinya dalam Pendidikan, Ponorogo:
Al-Tahrir, 2008
Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan
Sistematika dan Analitika, Pekanbaru: Suska Press, 2008
Melling, David. Jejak Langkah Pemikiran Plato,
Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002
Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik: Sejarah,
Perkembangan dan Peranan Para Tokohnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1995
Paulus, Welteroberer. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:
Kanisius, 1980
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2010
[1]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan dan
Peranan Para Tokohnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 18
[2]Welteroberer Paulus, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), hlm. 35
[4]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 22
[6]Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematika
dan Analitika, (Pekanbaru: Suska Press, 2008) hlm. 38
[7]Welteroberer Paulus, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta:
Kanisius, 1980), hlm. 37
[8]M.A.W. Brouwer, dan M. Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman, (Bandung:
PT. Alumni, 1986), hlm. 25
[9]H. Ahmad Syadili, Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 1997), hlm. 69
[10]David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato,
(Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 1
[11]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 48
[12]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 49
[13]Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematika
dan Analitika, (Pekanbaru: Suska Press, 2008) hlm. 39
[14]Masduki, Pengantar Filsafat: Pendekatan Sistematika
dan Analitika, (Pekanbaru: Suska Press, 2008) hlm. 39
[15]Ahmad Syadili, Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 71
[16] Miftahul Choiri, Telaah Pemikiran Plato dan Kontribusinya
dalam Pendidikan, (Ponorogo: Al-Tahrir, 2008), hlm. 231-233
Semoga bermanfaat...
BalasHapus